Politik Identitas Dalam Pilkada Aceh

acehbaru.com- Benarlah adagium Tak Ada Teman Abadi Dalam Politik, Tak Ada Lawan Abadi Dalam Politik, yang Ada Hanyalah Kepentingan. Banyaknya pasangan “bercerai” dalam pilkada mendatang bahkan keluar dari parpolnya adalah faktanya. Walaupun adagium itu benar namun ada satu hal yang masih abadi dalam politik kita, sebuah faktor penyatu sekaligus polarisasi dan sudah mengakar dalam darah politisi kita. Adalah Politik identitas yang mampu menyatukan kita sekaligus mempolarisasikan kita bila telah masuk gerbang fanatik buta, sebagaimana Cressida menukilkan makna politik identitas sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan (Cressida Heyes:2007)

Nasionalisme Aceh yang diusung Hasan Tiro adalah salah satu bentuk implementasi politik identitas walaupun dilatar belakangi faktor-faktor lain namun sukses menyatukan rakyat Aceh walaupun tak sepenuhnya setuju dengan perjuangan GAM saat itu. Pasca MoU Helsinki (2005) politik identitas masih kuat bergema di Aceh setidaknya itulah faktor yang memenangkan partai lokal dalam setiap hajatan politik di Aceh. Tentu saja kemenangan Irwandi-Nazar tak lepas dari politik identitas yang dimainkan mantan kombatan GAM walaupun belum lahir partai lokal saat itu. Politik identitas mampu mengalahkan kandidat kepala daerah yang diusung mesin politik (parpol) nasional yang sejatinya sangat pengalaman dalam politik. Setelah sukses di eksekutif, mantan kombatan GAM kemudian mendirikan parlok dan sebagaimana kita ketahui bersama belakangan ini mendominasi parlemen Aceh.

Kisah sukses politik identitas itu setidaknya masih berlangsung hingga kini, parlok penguasa parlemen dan eksekutif masih memimpin di Aceh dan mampu menjadikan sebagai second player serta parnas belum menemukan momentum. Walaupun demikian parlok mulai kehabisan energi, jargon ke-Acehan mulai usang setelah muncul polarisasi internal dan faksi yang tak sejalan lagi. Klaim paling berhak dan pantas memimpin di Aceh dengan identitas mantan kombatan GAM mulai ditinggalkan, sebabnya tak lain karena tahun 2017 mendatang akan menghadirkan kontestan yang mayoritas mantan kombatan GAM.

Menarik kita cermati ketika para mantan kombatan GAM bersaing dengan parlok yang berbeda dan ada pula yang menggunakan jalur independen bagi yang tak memiliki cukup biaya untuk menggaet parpol. Kita saksikan pula koalisi besar parlok-parnas padahal parlok tersebut tak membutuhkan partai lain dalam pencalonan karena kursi yang dimiliki cukup secara syarat. Tentu saja sikap politik tersebut merupakan bentuk ketakutan setelah konflik internal melanda parlok tersebut, Indikasi politik identitas dengan konsep ke-Acehan mulai usang dan tak laris lagi sehingga saatnya menggandeng parnas dengan jargon keagamaan.

Isu agama terutama Islam bila merujuk pada psikologis pemilih di Aceh mampu mendorong antusias pemilih, misalnya dengan isu aswaja dan mengklaim kandidat lain merupakan kelompok yang didukung wahabi atau syi’ah, akan berimplikasi pada penilaian pemilih. Sensitifitas mazhab dan aliran Islam di Aceh sangat tinggi sehingga isu kelompok Islam A dan B dapat mempengaruhi kemana pilihan rakyat akan tertuju. Bila berkaca pada kenduri politik di Jakarta dengan kandidat petahana Ahok, akan kita temukan politik identitas begitu kuat, isu agama yang dianut Ahok dan etnisnya masih dijadikan senjata guna menghancurkan elektabilitas Ahok.

Kondisi yang sedikit sama mulai terlihat di perhelatan kenduri politik Aceh 2017 mendatang. Para petarung mulai menggunakan jargon ke-Islaman dalam kampanye dan orasi politiknya sebagai bagian dari politik identitas guna memenangkan pilkada mendatang. Aceh yang sejak lama rakyatnya mayoritas menganut agama Islam setidaknya tak asing dengan jargon-jargon Islam namun demikian akan mudah terbakar emosi bila ada kelompok Islam berbeda mazhab akan tumbuh dan besar di Aceh. Peluang itu dimanfaatkan dengan jargon aswaja oleh salah satu kandidat, sementara itu ada pula yang menggunakan singkatan paslon yang identik dengan Islam, serta ada juga yang menghalalkan dan mengharamkan pilkada.

Pelibatan Islam dan Tuhan dalam hajatan politik bukan hal baru di ranah politik kita, mulai dari pemilihan Presiden hingga Walikota/Bupati isu tersebut selalu hadir dan menjadi jualan politik yang laris manis. Pereduksian Islam terjadi dalam skala nasional maupun lokal, agama hanya diajak ketika momen politik berlangsung dan agama dikesampingkan ketika mengurus proyek berlimpah rupiah. Tentu saja dikarena isu agama dan suku sesuatu yang mudah membakar semangat, bagian politik indentitas yang paling lazim digunakan.

Menukilkan dari Prof. Dr. Afif Muhammad M.A. dalam orasi ilmiahnya, dia mengatakan, “Watak dasar dari masyarakat beragama adalah akan menganggap apa yang dilakukan dalam agamanya benar dan cenderung menganggap apa yang dilakukan oleh orang lain agama (the religious other) sebagai yang tidak benar” (Wawasan Agama Madani dalam Masyarakat Plural di Indonesia : 2011). Dalam nomenklatur sosiologi kita mengenal istilah klaim kebenaran yang bukan hanya berkaitan dengan agama akan tetapi budaya, bahasa, dan ideologi.

Apakah politik identitas selalu buruk, tentu saja tidak bila memahami pluralitas atau kebhinekaan merupakan keharusan universal yang dalam nomenklatur Islam dikenal istilah Sunnatullah, kita diciptakan bersuku dan berbangsa yang berbeda untuk saling mengenal bukan saling bertumpah darah (Q.S 49:13) atau bila Allah menghendaki kita bisa saja dijadikan Ummat yang satu (Q.S. 5:48) namun Allah SWT memang hendak menguji kita dengan perbedaan dan berlomba berbuat baik. Politik identitas yang tak paham dengan pluralitas bukan hanya mengancam republik namun sempat mengancam keutuhan Aceh dengan munculnya wacana propinsi ALA sebagai representatif suku minoritas di Aceh.

Kalau kita merujuk pada teori klasik politik yang diujarkan Aristoteles maka politik telah kehilangan visinya. Aristoteles mengatakan politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dalam konteks politik identitas kita bisa jadikan regulasi baik dalam pemerintahan maupun dalam proses politik sehingga tidak ada kecenderungan hak warga negara terutama kelompok minoritas terlibas dan mayoritas dijajah. Mengapa kita bicara ide dan gagasan yang kontekstual guna merencanakan kesejahteraan bagi negeri kita tanpa mengenyampingkan dogma, budaya, maupun otodoksi dan ortopoksi sebagai hamba Tuhan yang saling mencintai dan saling menyayangi sesama.

Oleh : Don Zakiyamani / Komisioner KPK (Komunitas Pecinta Kopi)

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn

Berita Terkait